Iklan

Jumat, 23 Juni 2017, Jumat, Juni 23, 2017 WIB
HeadlineKISAHNEWSSlider

Tidak semua korban mampu berteriak atau melawan saat mereka diperkosa,Ternyata ini penyebabnya


Apa yang terlintas di kepala saat membayangkan adegan perkosaan? Korban pasti akan berteriak, menangis, dan meronta sekuat tenaga saat serangan terjadi? Bisa jadi inilah yang melekat di benak Derek G. Johnson, hakim Pengadilan Tinggi Orange County, California, saat memimpin sidang perkara perkosaan pada 2008 silam.

Adalah Metin Gurel, laki-laki yang menjadi terdakwa kasus perkosaan, kekerasan domestik, penguntitan, dan intimidasi terhadap mantan pacarnya. Dilansir Huffingtonpost, jaksa menuntut hukuman 16 tahun penjara atas perbuatan Gurel ini. Alih-alih mengikuti tuntutan jaksa, Johnson malah memangkas 10 tahun hukumannya.

Vonis akhir ini hanya satu bagian dari tindakan Johnson yang mengundang kontroversi. Pernyataan-pernyataannya seputar perkosaan lebih membuat mata publik membelalak, bahkan mengecamnya.

“Korban dalam kasus perkosaan ini, meskipun dia tidak menginginkannya juga, dia tidak melakukan perlawanan,” demikian salah satu ujaran Johnson terkait kasus yang ditanganinya. Ia juga mengungkapkan bahwa bila seseorang tidak ingin melakukan hubungan seks, maka tubuhnya tidak akan "mengizinkan" hal tersebut terjadi. Atas ucapan-ucapannya tak sensitif dan biasnya tersebut, Johnson mendapat peringatan dari Commision of Judicial Performance California.

Tindakan Johnson ini hanya satu dari sederetan tindakan penyalahan korban serangan seksual yang terjadi di berbagai tempat. Langgengnya kerangka berpikir yang keliru seputar perkosaan membuat para korbannya terus menerima perlakuan tak adil.

Baru-baru ini, peneliti dari Swedia merilis hasil riset mereka yang mematahkan salah satu mitos perkosaan: korban akan berupaya melawan dan jika hal ini tak dilakukan, maka hubungan seks yang terjadi tidak bisa dikatakan sebagai perkosaan. Dr. Anna Moller, salah satu peneliti yang terlibat dalam riset tersebut menemukan ada gejala kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan ketika mereka diserang pelaku. Gejala kelumpuhan ini disebut dengan tonic immobility.

Diwartakan oleh Live Science, kelumpuhan sementara yang dialami korban perkosaan menurut Moller merupakan reaksi defensif dari tubuh yang bersifat alami. Biasanya, reaksi yang tidak disengaja ini terjadi saat seseorang merasakan ketakutan luar biasa. Dalam riset Moller et. al. (2017), kelumpuhan sementara ini dikatakan mirip dengan kondisi katatonia, yakni keadaan di mana seseorang tidak bisa bergerak, berbicara, dan merespons stimulasi apa pun yang diterima tubuhnya.

Kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan berhubungan dengan aktivasi hormon tertentu, demikian dijabarkan oleh Arkansas Coalition Against Sexualt Assault (ACASA). Pada sebagian korban, aktivasi hormon corticostereoid mengambil peran besar dalam mereduksi energi yang mereka miliki. Hal inilah yang menyebabkan tubuh mereka kaku seutuhnya.


Bukan hanya kondisi kelumpuhan sementara pada korban perkosaan yang ditemukan oleh Moller et. al. Mereka juga melihat lebih besarnya potensi depresi akut, bahkan gangguan stres pascatrauma yang dimiliki para korban yang mengalami kondisi kelumpuhan sementara dibanding mereka yang tidak mengalaminya.

Karena banyak korban yang tidak menyadari bahwa kelumpuhan sementara bersifat alami dan spontan, penyalahan diri sendiri menjadi hal yang tidak terhindarkan. Mereka lebih enggan lagi untuk melaporkan pengalaman pahit itu kepada orang terdekat atau pihak berwajib lantaran besar kemungkinannya mereka berhadapan dengan pertanyaan, “Mengapa kamu tidak melawan?” atau “Mengapa kamu tidak berusaha lari?”.

Kondisi kekakuan tubuh korban yang mengalami perkosaan rupanya bukan fenomena anyar. Para peneliti Swedia ini mendapatkan temuan bahwa 7 dari 10 perempuan korban perkosaan yang mereka teliti merasakan kelumpuhan sementara saat kejadian. Sederetan penelitian dari negara-negara lain dan rentang waktu berbeda pun menunjukkan fenomena serupa. Namun sayang, hasil temuan mereka belum jamak disosialisasikan dan terinternalisasi dalam pikiran masyarakat, sehingga stigmatisasi dan penyalahan korban masih terus berlangsung.

(tirto)