Cerpen Cerita Pendek: IBU

Daftar Isi [Tampil]

Halo, pembaca semua... 

Dulu saya sempat membaca sebuah Cerpen yang diterbitkan oleh Majalah Krida tahun 90-an. Saya masih ingat betul alur ceritanya, tapi lupa-lupa ingat untuk full teksnya. Cerpen ini kalau tidak salah ditulis oleh Tario Ragil Putra (mohon maaf kalau salah). Ceritanya sangat menyentuh, soalnya saya juga ngalamin sama kaya di cerpen ini. 

Saya sudah berusaha mencarinya di internet untuk membaca ulang, tetapi tidak ketemu. Nah saya ingin membagikan ceritanya buat Anda semua dengan beberapa teks yang mungkin berbeda dengan aslinya karena saya sudah lupa. Dan jika ada pembaca yang tahu cerpen ini, bisa berbagi juga di kolom komentar benar atau nggak nama penulisnya dan tahu teks aslinya. Semoga cerita ini bisa memberikan pengalaman sendiri ya...


IBU...

Diluar angin berkisur rendah, rumput ilalang dipekarangan rumah saling bergesek suaranya menimbulkan desah berkesinambungan. Lewat celah dinding bambu, aku menengok keluar. Bulan purnama tampak sempurna. Sinarnya yang kuning redup menerobos masuk ke dalam ruangan membentuk lingkaran satu-satu.

Bagiku bulan purnama selalu bisa membangkitkan kenangan masa silam. Dulu ketika masih anak-anak, sambil ditunggui para ibu yang asyik ngobrol. Aku bersama belasan anak lain, baik laki-laki maupun perempuan sibuk bermain jamuran. 

Kami membentuk lingkaran sambil bertautan tangan lalu bernyanyi nyaring, “Jamur jamuran joget getan, jamur opo, joget getan, siro bade jamur opooo….?” lalu seorang anak yang berdiri ditengah lingkaran yang biasanya dipilih dengan cara suit atau hompimpa akan menjawab dengan suara nyaring juga. “Jamuurrrrrr Kethekkk Menekkkk….”



Kami yang bertautan tangan segera menyebar, mencari jalan sendiri-sendiri. Bagi yang pandai memanjat pohon segera memanjat pohon terdekat. Tapi bagi yang tidak pandai seperti aku cukup membonceng di akar pohon yang menyembul ke atas tanah sambil berpegangan erat pada inti pohon agar tidak ditarik oleh anak yang berdiri ditengah tadi biasanya disebut yang masang. Bagiku menjadi anak yang "masang" itu sangat menyebalkan, karena aku harus mengejar teman-teman apalagi aku tidak terlalu bisa berlari dengan kencang, dan tenagaku untuk menarik teman-teman juga tidak terlalu kuat. Bisa jadi aku bakal menjadi yang "masang" terus-terusan.

Kami terus bermain hingga lupa waktu. Kami baru berhenti bermain setelah malam begitu segi. Bulan purnama telah jauh lingsir ke barat. Udara juga sudah mulai dingin karena membawa aroma embun. Sementara para ibu sudah pulang sejak sore tadi setelah sebelumnya berpesan “Pulangnya jangan malam-malam ya, Nang”. Aku hanya mengiyakan sekilas lalu bermain lagi. Pesan itupun tenggelam dalam keasyikan bermain.  

“Malam betul kau pulang, Nang?” tanya ibu tak senang

Aku hanya nyengir seraya melengos masuk kedalam rumah setelah sebelumnya menyambar sarung yang ada di sampiran.

“Lain kali jangan melanggar pesan orang tua, Nang!” ucap ibu lagi. Nadanya tetap tak senang.

“Pulang larut malam itu ora ilok, itu banyak Sandingkala!” ucap ibu lagi.

“Iya, Bu” jawabku singkat sambil merebahkan diri ditempat tidur.

Badanku terasa lelah sekali. Tapi sisa keasyikan bermain masih membekas dalam. Tadi waktu bermain jamuran, aku menggenggam tangan Minah. Tangannya halus, jemarinya lembut. Ku remas pelan jemarinya, lalu dibalas remasan pula oleh Minah. Rasanya menyenangkan sekali. Kami telah berjanji akan bermain lagi pada malam berikutnya.

Tiba-tiba ibuku memijat kakiku yang pegal. Rasanya nyaman dan empuk.

“Tadi yang main Jamuran banyak, Nang?” tanya ibu tiba-tiba

“Banyak” jawabku tersendat

“Siapa saja?”

“Bawon, Samijan, Parjan, Jono, Murti, Juned, Siti, Slamet ….”

“Minah ikut tidak?” tanya Ibu memotong

“i..i ikut” jawabku tersendat

“Kelas berapa sekarang?”

“Kelas 4”

“oh… sama aku ya Nang” ibu menatap tajam

Tatapan Ibu seolah menelanjangi misteri malam. Aku tidak tahu Ibu tengah berpikir apa, tapi dari tarikan nafasnya membuat aku ikut berfikir. Tentu saja berfikir tentang Minah yang ditanyakan Ibu. Minah, Minah, dan Minah.

“Tadi waktu main Jamuran, Jamurnya apa aja, Nang?”

“hmmm anu Jamur Kethek Menek” jawabku

“Kamu tahu arti Jamur Kethek Menek, Nang?

Dalam berbaring aku menggeleng. Yang aku tahu dan sering mainkan itu Jamur Kethek Menek. Berarti setiap anak yang bertautan tangan harus segera memencar dan melepaskan tautan tangannya agar tidak menjadi yang “masang”, lalu naik ke pohon untuk menyelamatkan diri. Lalu jika setelah salah satu anak yang “masang” ini berhasil menarik salah satu yang ada diatas pohon, barulah kita bertautan tangan lagi, bergandengan tangan lagi dan bernyanyi lagi.

“Suatu saat kau juga akan seperti Jamur Kethek Menek itu, Nang” ucap ibu

“Kau akan berpisah dengan Ibu, berpisah dengan Samijan, berpisah dengan Bawon, berpisah dengan Parjan, ….”

“juga dengan Minah?” tanyaku memotong

“Ya…” jawab ibu singkat

Mata terasa panas secara tiba-tiba. Tenggorokan serasa tersumbat segumpal benda keras dan menyakitkan. Dengan cepat ku sembunyikan wajahku dibalik bantal. Takut dan malu diketahui Ibu. Diam-diam setitik air mataku menetes.

“Tapi kau tak perlu kuatir, Nang. Semua demi kebahagiaanmu. Semua demi masa depanmu. Asal kau tetap mencintai Desa ini, kau akan tetap bisa bertemu dengan mereka”

“Aku akan tetap mencintai Desa ini Bu”

Setelah menyelimuti ku dengan sarung, Ibu meninggalkanku tidur sendirian. Tak lama kemudian aku pun tertidur dengan nyenyak…..

*******

Epilog

DULU apa ya dikatakan Ibuku belum bisa dicerna oleh pikiranku yang masih sederhana. Saat aku masih suka main jamuran aku tidak tahu apa itu berpisah demi masa depan. Saat aku masih kelas 4 SD aku belum tahu apa itu Pangopa Jiwa.

Tapi sekarang, saat angin berkisur rendah dan saat sinar bulan purnama menerobos masuk kedalam ruangan, aku bisa mengangguk keras kalau semua perkataan Ibu itu benar.

“Sekarang kau memang bisa bisa bermain dengan mereka. Tapi kelak tidak” 

Kata-kata ibu terngiang kembali di telingaku.

Tanpa aku sadari teman-teman sepermainanku saat main jamuran muncul kembali. Bawon telah menjadi tukang kayu dan beranak satu. Samijan menjadi tukang es keliling. Parjan, dia masih ikut orang tuanya mencari rumput untuk makan empat ekor sapinya. Jono menjadi penjual nomor buntut. Sementara Juned, dia melanjutkan kuliah di Jogja. Murti yang dulu ingusan, sekarang tumbuh menjadi gadis yang jelita dan sebentar lagi akan mengakhiri masa lajangnya. Siti dan Slamet ternyata ditakdirkan menjadi suami istri dan sudah hidup bahagia. Tapi Minah… dimana Minah sekarang?

Dulu dia sudah terlihat cantik, apalagi sekarang pasti makin jelita saja. Tapi sayang, dia tidak lagi mencintai Desa dimana ia dilahirkan. Dari beberapa orang kawan aku tahu kalau dia telah menjadi seorang transmigran dan sudah diperistri oleh seorang juragan babi.

Ahh… rasanya aku seperti setitik molekul yang melayang di udara tanpa tahu kapan dan dimana akan terdampar. Aku seperti burung elang yang hinggap kapanpun dan dimanapun aku mau. Aku masih seperti sebuah kapas yang terbang tertiup angin.

Disaat teman-teman sepermainanku sudah memiliki masa depan dan telah menemukan hidupnya, aku masih mencari sebuah identitas.

END

*******


Kan bagus banget ceritanya, saya dulu baca cerpen ini pas masih SD kalo nggak salah Majalah Krida yang memuat cerpen ini pun hasil nemu hehehe. Trus saya bawa pulang.😀

Oke deh segini dulu... 

Sabda
Sabda Hello! Saya hanya seekor anak itik yang kadang suka nulis di Blog ini.

Posting Komentar untuk " Cerpen Cerita Pendek: IBU"